Noda Hitam Persahabatan
Hari itu begitu cerah ketika habibi hendak bergegas menuju sekolah yang sudah genap dua tahun ia tempati. Matahari pun begitu benderang memancarkan sinar kehidupan untuk penghuni permukaan bumi meski ia pun masih malu-malu muncul di ufuk timur. Tak berapa lama ia pun berpamitan kepada kedua orang tuanya seraya mengucapkan salam. Lalu pegi bergegas menuju motor kesayangannya yang selalu setia menemani ia ke sekolah.
“hmm,,ini hari yang baik, dan semoga saja berdampak baik untukku”, gumamnya di tengah perjalanan menuju sekolah.
Dua puluh menit berselang ia pun tiba di sekolah. SMU Negeri yang sejak SLTP tidak pernah dia duga akan menjadi tempatnya menimba ilmu setelah lulus dari SLTP swasta. Memang banyak yang berbeda dari kehidupan para penghuni sekolah ini dari pada SLTP swasta yang ia huni sebelumnya. Tampak kehidupan gelamour berhias keborjuisan yang ia rasakan ketika genap sebulan ia duduk di bangku SMA Negeri tersebut. Memang tidak aneh, sebab para siswa disini merupakan anak-anak dari keluarga yang hidup di atas garis kemiskinan.
Lalu sesegera mungkin ia memarkirkan motornya, dan pergi menuju ruang kelasnya. Sesampainya di kelas ia dapati Susana yang sudah tak asing lagi. Canda tawa teman-teman menghiasi warna kelas tersebut. Namun tak hinggap pada seorang laki-laki berambut kribo dan bertubuh gempal yang sedang terengah-engah bertarung dengan waktu guna menyalin jawaban-jawaban soal aljabar.
“sedang marathon ,bung?”, canda habibi kepada temannya itu.
Dengan tangan yang masih berkonsentrasi pada rumus-rumus aljabar pria tersebut pun balik menatap habibi, ”eh kamu bee, gimana mau gabung marathon ma gue pa cuma mau kasih semangat gue ja nh?”
“haha, makasih deh prol. Gue sh udah beres. Sekarang Cuma mau liatin kamu ja sambil berharap guru jam pertama bakal terlambat karena dua menit lagi bel berdering.”
“ ah, sial kau! Bikin gue panik aja”, sambil terus meneruskan tulisannya yang tampak lebih semrawut lagi.
Tak lama bel berbunyi, guru pun tiba di ruang kelas. Namun itu tak membuat semangat saprol untuk terus mengerjakan tugasnya. Habibi pun tersenyum melihat tingkah temannya itu.
Lalu pelajaran pun dimulai. Dan habibi bersama teman-teman sekelasnya pun bersiap-siap untuk mencerna ilmu yang di berikan gurunnya.
***
Hari pun begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah pukul setengah dua siang dan itu pertanda bahwa kegiatan sekolah hari ini akan segera berakhir.
Setelah guru pelajaran terakhir meninggalkan kelas, Ia pun kini bergegas merapihkan alat-alat tulis yang berserakan di mejanya sambil sesekali melempar candaan pada teman-temannya di kelas. Lalu ia kembali ke parkiran menemui motor kesayangannya dan meninggalkan sekolah menuju rumah.
Sesampainya di rumah ia pun terkejut melihat empat pasang sepatu yang berserakan di teras rumahnya. Namun ia mengenali pemilik salah satu sepatu tersebut. Sepatu kets berwarna hitam dengan di hiasi beragam gambar tengkorak di sana-sini.
“Oo,ternyata ada tamu tidak di undang datang”, candanya dalam hati.
“Assalammualaikum..”, ujarnya dengan senyuman dan tatapan ramah pada orang-orang di dalam ruang tamu yang tak lain adalah pemilik sepatu-sepatu yang berserakan di teras rumahnya.
“wa alaikumsalam warohmatullahi wabarakatu”, balas mereka dengan lengkap layaknya sedang hadir dalam majelis pengajian.
Lalu seorang wanita yang sudah tak asing lagi menghampirinya dengan senyuman ramahnya sehingga membuat ia terpaksa membalasnya dengan sapaan.
“eh, kamu Cha. Udah lama di rumah? Kok ‘gak bilang-bilang mau kerumah?”
“ iya, maaf. Tadi Cha-cha pulang cepet. Terus temen-temen bingung mau kemana jadi Cha-cha ajak aja temen-temen kesini, ‘gak apa-apa kan? “
“Oo,gak apa-apa kok. Toh gue juga lagi gak sibuk ini”
Wanita itu adalah Annissa yang tak lain adalah kekasih habibi. Annisa adalah seorang wanita berparas cantik namun tak terlihat feminim. Lihat saja, sepatunya pun bercorak kan gambar tengkorak yang bertolak belakang dengan selera wanita-wanita lainnya. Ia adalah wanita yang dikenal habibi sejak Sekolah Menengah Pertama. Kecantikan dan ketomboyannya meluluhkan hati Habibi sejak pertama kali bertemu. Namun kini cinta Habibi sedang pudar terhadap Annisa. Ini di karena kan Annisa pernah menduakan Habibi dengan pria lain. Meski Habibi sudah memaafkan Annisa, namun tragedi kemanusiaan tersebut tak ayal membuat cinta habibi berkurang tiap harinya. Wajar, karena dalam prinsip Habibi ia amat menentang keras segala bentuk pengkhianatan.
“Ehm,,kenalin bee teman-teman Cha-cha. Ini Nurul, di sebelahnya Rina, dan yang di pojok itu Rozinah”
“iya,,salam kenal ya semua”, sapa Habibi dengan senyum ramahnya.
Lalu mereka pun bercanda gurau di ruang tamu yang tampak sederhana. Awalnya mungkin terasa menjenuhkan bagi Habibi. Karena kekasihnya itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Namun semua itu berubah setelah Habibi melihat seorang wanita yang begitu mempesona dirinya. Wanita yang memiliki mata indah, wanita yang memiliki rambut lurus yang terurai begitu sempurna, wanita yang memiliki senyum indah nan elok bagaikan pegunungan himalaya, wanita yang memiliki sahabat bernama Annisa.
“Apa?! Apa yang terjadi dengan diriku? Bagaimana bisa aku terjebak dalam pesona wanita itu? Dia adalah sahabat Annisa. Annisa yang tak lain adalah kekasih ku..”, gumam Habibi dalam hatinya dengan aroma kegundahan.
Sesekali Habibi menatap kekasihnya itu. Menatapnya dengan dalam. Rupanya ia ingin sekali mengalihkan perhatiannya pada kekasihnya itu. Ia tak mau terlampau jauh larut dalam lamunan indah pesona Rozinah. ia ingin sekali menjaga perasaan kekasihnya itu. Namun ternyata ia tak kuasa menahan perasaan itu. Matanya begitu sulit untuk tak menatap keceriaan Rozinah. Perasaan cinta pada Annisa yang sedang memudar itu kian membantu dirinya untuk terperosok jauh dalam kegundahan perasaan hatinya.
Sore pun menjelang seiring dengan alunan syahdu gema adzan Ashar. Namun perbincangan itu tampak seperti tanpa ujung. Mereka tengah asyik larut dalam canda tawa yang menghiasi ruang tamu tersebut sepanjang siang hari itu. Tapi ketika wajah matahari tampak condong 22 derajat arah barat, mereka pun berpamitan pulang. Sesekali tampak tatapan Habibi yang mencuri-curi untuk memandang wajah Rozinah seakan-akan tak rela untuk kehilangan pesona wajah nan ayu tersebut.
“bee,,Cha-cha pulang dulu ya. Nanti malam sms Cha-cha ya?”, celoteh Cha-cha yang seakan-akan begitu membutuhkan perhatian Habibi.
Namun habibi pun hanya menjawab dengan senyuman seraya berkata, “Hati-hati di jalan y!”
Lalu mereka pun meninggalkan rumah Habibi. Habibi hanya bisa menatap mereka dari kejauhan. Dan sore itu pun berakhir dengan perasaan Habibi yang masih memikirkan pesona Rozinah .
***
Beberapa hari kemudian Habibi mengunjungi rumah Annisa. Memang sudah sewajarnya ia bertamu kesana, karena dalam menjalin hubungan dengan seseorang kita harus bersilaturahmi juga dengan keluarganya di rumah.
Siang itu memang terasa begitu sepi di rumah annisa. Hanya ada ibu nya yang sedang melakukan pekerjaan rumah tangga dan seorang adik perempuannya yang berumur kurang lebih 3,5 tahun. Tak ayal situasi tersebut pun membuat pertemuan tersebut menjadi membosankan. Sesekali mereka melepas canda tawa, namun terkadang mereka terdiam tanpa kata-kata seakan-akan menyadari hubungan yang telah mereka jalin itu telah di warnai dengan kejenuhan. Namun Annisa yang tampil ceria pada pertemuan itu tak kehabisan akal. Ia tidak mau menbuat Habibi kecewa sehingga ia mengajak Habibi pergi ke suatu tempat.
“Bee,,gimana kalau kita main ke rumahnya Rina? Daripada di sini melulu, kan bosan”, ajak dia dengan melemparkan senyuman yang menggoda Habibi untuk menyanggupinya.
“Rina teman kamu yang dulu kamu kenalin di rumah aku bkn?”
“Iya Rina yang itu. Kamu masih ingat kan? Cha-cha memang suka main ke rumahnya. Dia teman Cha-cha sejak kelas dua Bee”
“Haduh, kenapa tidak ke rumah Rozinah saja? Jadi gue kan bisa terpesona lagi mengagumi dirinya sambil sesekali bertanya tentang dirinya agar bisa mengenalnya lebih jauh lagi”, pikir Habibi dengan segudang halusinasi.
“hey, gimana? Di Tanya malah melamun lagi”, celoteh Cha-cha yang serta-merta merusak lamunan Habibi.
“Oia,,ayo kita berangkat. Pamit dulu ma mama ya”
Lalu setelah berpamitan mereka pun segera bergegas untuk pergi ke rumah Rina. Rumah nya memang jauh dari rumah Cha-cha, tapi tak mengapa dengan begitu mereka terlepas dari kejunahan dengan nuansa rumah yang itu-itu saja.
Setelah beberapa menit mereka tiba di sebuah rumah. Rumah yang cukup sderhana namun terlihat sedikit lebih mewah dari bangunan sekelilingnya. Di depan rumahnya terdapat rel kereta listrik yang masih aktif di lalui kereta setiap hari. Antara rel kererta dengan rumah itu hanya dibatasi dengan jalan umum yang hanya berlebar satu setengah meter saja. Dari luar rumah itu terkesan penuh dengan kehidupan yang begitu harmonis antar sesama penghuni keluarga.
Lalu dari kejauhan terlihat seorang wanita separuh baya yang tengah melempar senyum kepada Cha-cha. Lalu begitu mendekat serta merta wanita tersebut mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah dengan senyuman ramahnya. Seketika itu Habibi tersadar ternyata wanita itu adalah ibunya Rina. Ia pun langsung member salam untuk menghormati wanita tersebut.
Selang beberapa mwaktu Rina pun dating menghampiri seraya menyapa dengan penuh keramah-tamahan.
“Eh, kamu cha. Sama siapa? Habibi ya?”, sapa Rina dengan sedikit berbasa-basi.
“iya, sama Habibi. Masih ingat akn? Kita ganggu kamu ‘gak nh Rin?”
“Oo, ‘gak kok. Rina juga disini lagi santai-santai saja. Untung kalian maen ke rumah, jadi Rina ada temenya nih”
Sesaat kemudian mereka masuk ke dalam perbincangan yang begitu menarik. Canda tawa pun sesekali mewarnai aura ruang tamu tersebut. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata Habibi dengan mudahnya langsung Akrab dengan Rina Layaknya sahabat lama yang kembali bertemu. Namun ternyata hal tersebut bukannya tidak di respon oleh Cha-cha. Ia pun mengkhwatirkan sesuatu yang buruk terjadi antara hubungannya dengan Habibi dan sahabatnya Rina. Namun ia terlihat tak begitu menampakkan kegundahan perasaanya itu di hadapan mereka berdua.
Lalu hari pun semakin sore. Sehingga Habibi dan Annisa pun segera beranjak untuk berpamitan pulang. Dan hari itu pun berakhir dengan kegundahan Cha-cha yang sepertinya menyesali inisiatifnya untuk mengajak Habibi ke rumah Rina.
***
Beberapa hari kemudian Habibi menerima pesan dari nomor yang tak di kenalinya. Isinya tak lain adalah kata-kata dari Rina yang menyuruhnya untuk menyimpan nomor ini. Habibi pun menurut dengan isi pesan tersebut. Ia pun berfikir mungkin ini lah saatnya untuk mengakhiri hubungan dengan Annisa yang sudah sekian lama cintanya pudar dan mungkin saat itu adalah saat dimana puncak perasaan itu akan pupus. Mungkin tak dapat di salahkan begitu saja tindakan Habibi. Terlepas dari perasaan dendam, mamang kejadian dimana Cha-cha menduakan cintanya itu begitu membekas. Hingga tak sadar menjadi bom waktu untuk Cha-cha. Sehingga ia memikirkan bagaimana skenario yang bagus untuk mengakhiri hubungannya.
Ia pun berfikr mungkin hal tersebut akan terlaksana dengan sempurna melalui bantuan Rina untuk merencanakan semua itu. Karena Rina adalah temannya yang sehari-hari sepanjang sekolah menemaninya. Sehingga dari situ Habibi dapat mengetahui apa saja yang di lakukan Cha-cha di sekolah.
Lalu hari-hari pun berlalu dengan tambah dekatnya hubungan Habibi dan Rina. Tak di duganya ternyata Rina begitu mendukung rencananya tersebut. Terkadang mereka bertemu langsung untuk membicarakan hal itu, sehingga beragam informasi pun begitu mudah di dapat Habibi. Dari memakai tas dan sepatu berwana apa saat cCa-cha sekolah, hingga kisah asmara Cha-cha yang tengah di dekati pria-pria di sekolahnya.
Lantas terlintas rencana untuk menjebak Cha-cha dengan pria yang tengah mendekatinya itu. skenario pun di rancang dengan adegan seolah-olah habibi memeregoki mereka yang tengah jalan berdua. Namun skenario besar itu tidak lah mudah di laksanakan karena Cha-cha begitu tak merespon baik pria-pria yang tengah mendekatinya itu. Tak ayal hal tersebut mebuat Habibi harus bertemu langsung denga Rina. Terkadang di tempat-tempat umum, terkadang pula langsung di rumah Rina. Alhasil hal tersebut membuat mereka terasa sering bertemu. Namun ternyata hal ini pun tercium oleh Annisa. Sehingga tambahlah kecurigaan terhada Rina semakin membesar adanya. Hingga membuat hubungan mereka tampak renggang.
Beberapa hari kemudian habibi sudah berada di rumah Rina lagi. Ketika hari sudah gelap. Habibi pun segera beranjak pulang dari rumah Rina yang sedari sore membahas skenario besar tersebut. Namun begitu terperanjatnya dia ketika sampai di depan pagar rumahnya di temui seorang wanita yang taka asing baginya. Seorang wanita yang begitu mempesona dirinya. Wanita yang memiliki mata indah, wanita yang memiliki rambut lurus yang terurai begitu sempurna, wanita yang memiliki senyum indah nan elok bagaikan pegunungan Himalaya itu yang tak lain adalah Rozinah.
Lalu denga senyuman yang ramah wanita itu mendekat dengan langkah pasti.
“hey, bee mau kemana? Udah mau pulang saja, baru saja Roz sampe”, sapanya dengan melemparkan canda.
“iya nih mau pulang saja. Habis sudah malam. Loh, kamu kok kesini? Memang ada acara apa samapai malam-malam seperti ini kamu ke rumah Rina?”, balas Habibi sambil menyalakan mesin motornya.
“Loh,Roz kan tinggal di sini bee. Memang Rina tidak cerita? Jadi Roz itu sepupuan dengan Rina. Kalau begitu hati-hati ya Habibi. Sampai ketemu lagi”, ujar rozinah
“oia, makasih”, jawab Habibi sambil melemparkan salam kepada Rozinah.
Di perjalanan Habibi masih bingung dengan kenyataan yang baru ia alaminya itu. ia masih tidak percaya kalau Rozinah wanita yang ia kagumi itu bersaudara denga Rina bahkan tinggal serumah. Padahal sepanjang perjalanan menyusun skenario itu ia sering bertandang ke rumah Rina. Namun tak pernah sekalipun ia bertemu dengan Rozinah. Rasa bingungnya bercampur rasa bahagia. Bahagia karena bertemu dengan wanita yang selama itu pun ia cari-cari keberadaanya, sekaligus bahagia karena pintu untuk mengenal wanita tersebut menjadi terbuka lebar.
***
Hari-hari setelah itu pun berlalu dengan Habibi yang tampak lebih akrab dengan Rozinah. sekarang ia jadi lebih mengalihkan perhatiannya terhadap wanita itu. Tak ayal situasi ini pun ternyata terbaca oleh Rina. Sehingga ia begitu cemburu melihat kedekatan Habibi denga Rozinah. dari situ lah tertangkap ternyata Rina pun memendam perasaan yang begitu mendalam trhadap habibi. Habibi pun mengetahuinya, sehingga tersadar olehnya ternyata hal itu lah yang memotivasi Rina membantu Habibi. Namun hal tersebut tak membuat Habibi berhenti merencanakan scenario besar itu. dan akhirnya scenario tersebut pun selesai dan siap di perankan.
Scenario itu di jalankan esok harinya setelah semua persiapan matang. Scenario tersebut harus berhasil membuat Annisa berjalan berduaan bersama pria yang tengah mendekatinya tersebut. Secepat mungkin Rina pun memberitahukan posisi mereka dan detil-detil pakaian apa saja yang mereka kenakan. Lalau Habibi pun segera bergerak menuju lokasi tersebut.
Sesampainya di sana ternyata benar saja ia tengah mendapati mereka tengah duduk berduaan di kursi taman pinggir jalan. Tampak berdekatan sekali sehingga terpikir oleh Habibi bahwa inilah memang saatnya scenario itu dilaksanakan. Lalu Habibi pun mendekati mereka dengan mengumpulkan emosi untuk mendukung keberhasilan scenario tersebut.
“Oo,,jadi seperti ini ya yang kamu lakuin di belakang aku? Pantas saja sedari tadi aku tidak bisa menghubungi kamu. Ternyata kamu tengah asyik berduaan dengan dia?”, sapa Habibi dengan nada garang.
Tampak wajah Annisa yang tengah kebingungan dengan semua yang terjadi sehingga membuatnya tak bisa berkata apa-apa.
“malam-malam begini bukannya langsung pulang malah main dulu. Sama cowok lagi”, sambar Habibi
Annisa pun angkat bicara seolah mencoba melawa rasa bingung itu, “ini ‘gak seperti yang kamu pikirin Habibi. Cha-cha sama dia gak ad hubungan apa-apa. Kita Cuma sedang duduk-duduk sambil mengistirahatkan kaki”
“Ah,,istirahat kan bisa di rumah. Bukan dengan duduk di punggir taman jalan kaya gini. Sama cowo lagi. Udah, kesabaran gue dah habis. Perjalanan cinta kita ini putus di sini seiring dengan pupusnya keprcayaan gue sama kamu. Mulai sekarang jangan hubungi gue lagi dan mencoba tuk jelasin semua ini. Karena semua ini sudah jelas di mata gue”, balas Habibi sambil cepat-cepat pergi meninggalkan Annisa.
Annisa pun tak kuasa menahan Habibi yang begitu cepat memberi keputusan dengan penuh emosi. Ia hanya bisa menitikkan air mata sambil meandangi Habibi yang kian lama kian jauh dan menghilang di telan kegelapan malam.
***
Rencana besar itu BERHASIL!! Scenario itu berjalan dengan sempurna bahkan dengan adegan di luar dugaan yang membuatnya tampak lebih nyata lagi. Meskipun perasaan hatinya yang begitu puas dengan keberhasilan scenario besar tersebut, namun Habibi pun merasa sedih juga.
“Ini bukan balas dendam! Tapi aku malah membuat ini untuk kebahagiaan dirinya. Aku tak ingin dia menjalin hubungan tanpa cinta dariku. Meski telah ku coba untuk mencintainya kembali, namun peristiwa ketika dia menduakan cintaku lebih mendominasi. Aku tak bisa melakukan hal lain. Ini sudah keputusan terbaik untukku dan untuknya”, elak Habibi untuk meyakini dirinya yang sedang bimbang dengan keputusan yang di buatnya.
Esok harinya Annisa mendatangi Rina. Rupanya ia sudah mencium adanya sekandal besar yang telah Habibi dan Rina lakukan. Namun ia tak bisa berbuta benyak, karena tak mampu membuktikan bahwa Rina memang terlibat. Tapi emosinya meluap-luap. Ia tak bisa mengendalikan perasaannya yang begitu membebani. Dengan suara lantang ia berbicara dengan Rina.
“hey, Rina. Ini semua kemauan kamu kan? Puas kamu dengan semua yang terjadi semalam antara aku dan Habibi?”, Tanya Annisa sambil menitikan air mata.
“Loh apa yang terjadi dengan kamu dan Habibi dan kamu Cha?”, elak Rina berpura-pura tak tahu.
“halah, jangan pura-pura tidak terlibat kau! Aku tau selama ini kamu selalu bertemu dengan Habibi. Entah apa yang kalian bicarakan, namun aku tau semua ini adalah rencana besar kamu juga. Kamu masih menaruh dendam kan pada ku?”, sambar lina dengan nada meyakinkan.
“dendam apa? Semua itu sudah aku lupakan. Sudahlah jangan di bahas masa lalu itu. aku tak mau mendengarnya lagi”, elak Rina yang seakan-akan ingin menyembunyikan perasaannya terhadap Habibi.
“jangan mengelak kau Rin. Aku tahu pasti ada sesuatu yang membuat kamu merasa yakin melakukan ini meski harus mengorabankan perasaan aku kan?”
Rina terdiam sejenak.
“Sejak pertama mengenalkan Habibi pada mu pun aku sudah menyangka bahwa ada sesuatu yang engkau sembunyikan. Engkau menyukai Habibi kan Rin?”, sambar Annisa denga nada yang lebih lantang.
Rina pun masih terdiam seakan-akan tak ingin perasaan itu di ketahui Annisa. Di kejauhan terlihat Rozinah dan Nurul yang sedang mengamati. Lantas mereka pun mendekat mencoba menenangkan Annisa dan menengahi konflik tersebut.
“Aa.. aku tidak menyu...”, jawab Rina tergagap namun terhenti karena annisa menyerobot kata-katanya.
“Apa?! Kau ingin mengelak atas perasaan mu itu? sudahlah jujur saja. Aku pun sudah tak terkejut dengan jawaban mu itu. aku sudah tau kalau kau pasti akan mengkhianati aku! Tega sekali kamu lakukan itu? dasar parasit!!”, sambar Annisa dengan emosi yang sudah tak bisa di bendungnya.
Mendengar perkataan tersebut membuat Rina muak. Ia pun tak kuasa menahan amarahnya dan membalas Annisa dengan kata-kata yang meluap-luap.
“Iya!! Aku memang menyukainya. Aku bahkan ingin merebut ia dari mu. Karena aku mencintainya. Dan aku tak rela melihat ia tersiksa karena hubungan yang ia paksakan. Rasa cinta dia sudah pudar untukmu Cha. Ini semua karena kau yang telah menduakan dia. Ia masih belum bisa menerima kenyataan itu. Hingga akhirnya aku datang untuk menghiburnya.”, elak Rina dengan argumennya yang seolah-olah ingin membenarkan perbuatannya. Ia pun segera berjalan meninggalkan Annisa. Diikuti Nurul yang mengejarnya sekedar mencoba menenangkan hatinya.
Mendengar itu Annisa tak bisa berkata-kata lagi. Mulutnya seakan-akan terkunci rapat oleh kata-kata dari Rina. Dadanya sesak dan terasa penuh karena masih menyimpan emosinya. Rozinah pun dengan segera merangkul Annisa dan mengelus-ngelus punggunganya.
“Sudah Cha. Ikhlaskan saja. Semua sudah terjadi. Aku mengerti perasaanmu, namun tak ada lagi yang bisa kamu perbuat”, celoteh Rozinah yang mencoba menenang kan hati Annisa.
Mendengar perkataan Rozinah, Annisa tak kuasa menahan emosinya. Di peluknya Rozinah dengan erat, lalu ia menangis sekeras-kerasnya hingga membasahi seragam Rozinah. Rozinah pun memeluknya dan sambil tetap mengelus-elus punggungnya dan mencoba menenangkan Annisa. Rozinah pun menitikkan air mata. Berandai-andai bagaimana bila Annisa pun mengetahui perasaannya yang besar terhadap Habibi juga.
***
Mendengar insiden yang terjadi di sekolah Annisa dari Rozinah, Habibi tak dapat berbuat banyak. Ia hanya bisa bertanya-tanya bagaimana situasi yang terjadi pada Annisa saat itu. Habibi pun seakan-akan kebingungan mendengar dampak yang terjadi atas apa yang ia lakukan. Namun Habibi pun tak dapat membendung perasaannya terhadap Rozinah. rozinah pun demikian. Namun mereka terbebani dengan dampak yang akan di timbulkan oleh perasaan mereka berdua. Habibi sadar bahwa bila hubungan dengan Rozinah di lanjutkan, maka konflik pun bukan saja terjadi antara Annisa dengan Rozinah, namun dengan Rina pun. Mengingat bahwa Rina adalah sepupu Rozinah dan begitu berharap Habibi akan menjadi kekasihnya setelah berpisah dengan Annisa.
Namun terlepas dari semua itu, mereka tak dapat membendung perasaannya. Hari-hari mereka lalui dengan komunikasi yang lebih akrab lagi. Mereka pun seakan-akan tak mempedulikan lagi insiden saat itu. Mereka pun tersiksa bila mereka tak dapat menjalin hubungan lebih serius dengan komitmen yang di sanggupi bersama.
Maka hal tersebut pun terjadi juga. Setelah dua minggu insiden tersebut, mereka meresmikan hubungannya. Memang berkesan egois, namun itu semua karena cinta yang begitu besar menyelimuti mereka. Awalnya mereka menyembuikan hubungan tersebutut terhadap Rina dan Annisa. Hingga suatu ketika, dimana Rina melihat Habibi dan Rozinah berduaan di tengah kursi bioskop.
Serta merta Rina menghampiri mereka, dan melabrak dengan gertakan yang meledak-ledak.
“Oo, jadi ini akhir cerita yang kalian rencanakan? Bagus sekali kau memperalat aku untuk berpisah dengan Annisa bee. Namun ternyata kau malah menjalin hubungan dengan Rozinah”
Habibi tak mampu mengelak lagi.
“Hey, apa yang kamu bicarakan Rina? Aku tidak memperalat kamu untuk itu. kamu lah yang ingin membantuku. Aku kira itu kamu lakukan dengan ketulusan”, balas Habibi membela diri.
Sedangkan Rozinah hanya terdiam duduk di kursi itu tanpa tau apa yang bisa sia lakukan untuk menjelaskan perasaannya.
“iya aku memang tulus membantumu. Tapi aku pun berharap jika kau berpisah dengan Annisa kau akan menjadi milikku. Semua sudah aku lakukan untuk itu. bahkan aku sudah menjual arti persahabatan kami. Tapi sekarang kau malah bersama Rozinah. apa kau ingin menghancurkan hubungan persaudaraan kami juga?”, tambah Rina sambil menyeka air matanya.
“Rin aku minta maaf untuk semua ini.aku tak bermaksud melakukan ini. Aku tak tahu perasaan mu pada ku. Aku kira hubungan kita hanyalah sebuah hubungan pertemanan saja. Maafkan aku dan Rozinah jika semua ini hanya melukai hatimu saja”, balas Habibi dengan penuh penyesalan.
Rina tidak menjawab apa-apa. Dia tak kuasa menahan gejolak perasaan ini. Dia hanya bisa menyesali perbuatannya kepada Annisa. Dengan penuh emosi ia langsung berlari dan meninggalkan Habibi dan Rozinah.
Habibi pun mencoba mengejar. Namun tak sanggup baginya untuk menahan Rina. Ia hanya bisa memanggil nama Rina di kejauhan. Lalu ia kembali menemui Rozinah. di dapatinya Rozinah yang tengah tertunduk menangis menyikapi kejadian tadi. Lalu habibi pun merngkunya seraya maykinkannya.
“Maafkan aku Rozinah. aku telah membuat hubungan kalian seperti ini. Aku tak kuasa membendung perasaan cinta aku padamu. Maafkan aku Rina”
“Habibi,apakah aku akan kecewa seperti mereka. Apakah kehancuran hubungan persahabatan kami akan sia-sia?”, jawab Rozinah dengan di iringi isak tangisnya.
Sambil menatap wajahnya, habibi menjwab dengan penuh keyakinan, “Aku tak akan membuat semua ini sia-sia. Aku itak akan membuat kamu kecewa. Aku aka selalu berada di sisi mu. Percaya padaku Roz”
Lalu Rozinah pun memeluk erat Habibi. Ia tak menanggapi pernyataan Habibi. Ia hanya bisa berharap bahwa semua ini tak akan sia-sia. Persahabatannya yang hancur hanya bisa di sesalinya. Ini semua adalah harga mahal yang harus di bayar untuk sebuah hubungan percintaan.
***
Hari itu begitu cerah ketika habibi hendak bergegas menuju sekolah yang sudah genap dua tahun ia tempati. Matahari pun begitu benderang memancarkan sinar kehidupan untuk penghuni permukaan bumi meski ia pun masih malu-malu muncul di ufuk timur. Tak berapa lama ia pun berpamitan kepada kedua orang tuanya seraya mengucapkan salam. Lalu pegi bergegas menuju motor kesayangannya yang selalu setia menemani ia ke sekolah.
“hmm,,ini hari yang baik, dan semoga saja berdampak baik untukku”, gumamnya di tengah perjalanan menuju sekolah.
Dua puluh menit berselang ia pun tiba di sekolah. SMU Negeri yang sejak SLTP tidak pernah dia duga akan menjadi tempatnya menimba ilmu setelah lulus dari SLTP swasta. Memang banyak yang berbeda dari kehidupan para penghuni sekolah ini dari pada SLTP swasta yang ia huni sebelumnya. Tampak kehidupan gelamour berhias keborjuisan yang ia rasakan ketika genap sebulan ia duduk di bangku SMA Negeri tersebut. Memang tidak aneh, sebab para siswa disini merupakan anak-anak dari keluarga yang hidup di atas garis kemiskinan.
Lalu sesegera mungkin ia memarkirkan motornya, dan pergi menuju ruang kelasnya. Sesampainya di kelas ia dapati Susana yang sudah tak asing lagi. Canda tawa teman-teman menghiasi warna kelas tersebut. Namun tak hinggap pada seorang laki-laki berambut kribo dan bertubuh gempal yang sedang terengah-engah bertarung dengan waktu guna menyalin jawaban-jawaban soal aljabar.
“sedang marathon ,bung?”, canda habibi kepada temannya itu.
Dengan tangan yang masih berkonsentrasi pada rumus-rumus aljabar pria tersebut pun balik menatap habibi, ”eh kamu bee, gimana mau gabung marathon ma gue pa cuma mau kasih semangat gue ja nh?”
“haha, makasih deh prol. Gue sh udah beres. Sekarang Cuma mau liatin kamu ja sambil berharap guru jam pertama bakal terlambat karena dua menit lagi bel berdering.”
“ ah, sial kau! Bikin gue panik aja”, sambil terus meneruskan tulisannya yang tampak lebih semrawut lagi.
Tak lama bel berbunyi, guru pun tiba di ruang kelas. Namun itu tak membuat semangat saprol untuk terus mengerjakan tugasnya. Habibi pun tersenyum melihat tingkah temannya itu.
Lalu pelajaran pun dimulai. Dan habibi bersama teman-teman sekelasnya pun bersiap-siap untuk mencerna ilmu yang di berikan gurunnya.
***
Hari pun begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah pukul setengah dua siang dan itu pertanda bahwa kegiatan sekolah hari ini akan segera berakhir.
Setelah guru pelajaran terakhir meninggalkan kelas, Ia pun kini bergegas merapihkan alat-alat tulis yang berserakan di mejanya sambil sesekali melempar candaan pada teman-temannya di kelas. Lalu ia kembali ke parkiran menemui motor kesayangannya dan meninggalkan sekolah menuju rumah.
Sesampainya di rumah ia pun terkejut melihat empat pasang sepatu yang berserakan di teras rumahnya. Namun ia mengenali pemilik salah satu sepatu tersebut. Sepatu kets berwarna hitam dengan di hiasi beragam gambar tengkorak di sana-sini.
“Oo,ternyata ada tamu tidak di undang datang”, candanya dalam hati.
“Assalammualaikum..”, ujarnya dengan senyuman dan tatapan ramah pada orang-orang di dalam ruang tamu yang tak lain adalah pemilik sepatu-sepatu yang berserakan di teras rumahnya.
“wa alaikumsalam warohmatullahi wabarakatu”, balas mereka dengan lengkap layaknya sedang hadir dalam majelis pengajian.
Lalu seorang wanita yang sudah tak asing lagi menghampirinya dengan senyuman ramahnya sehingga membuat ia terpaksa membalasnya dengan sapaan.
“eh, kamu Cha. Udah lama di rumah? Kok ‘gak bilang-bilang mau kerumah?”
“ iya, maaf. Tadi Cha-cha pulang cepet. Terus temen-temen bingung mau kemana jadi Cha-cha ajak aja temen-temen kesini, ‘gak apa-apa kan? “
“Oo,gak apa-apa kok. Toh gue juga lagi gak sibuk ini”
Wanita itu adalah Annissa yang tak lain adalah kekasih habibi. Annisa adalah seorang wanita berparas cantik namun tak terlihat feminim. Lihat saja, sepatunya pun bercorak kan gambar tengkorak yang bertolak belakang dengan selera wanita-wanita lainnya. Ia adalah wanita yang dikenal habibi sejak Sekolah Menengah Pertama. Kecantikan dan ketomboyannya meluluhkan hati Habibi sejak pertama kali bertemu. Namun kini cinta Habibi sedang pudar terhadap Annisa. Ini di karena kan Annisa pernah menduakan Habibi dengan pria lain. Meski Habibi sudah memaafkan Annisa, namun tragedi kemanusiaan tersebut tak ayal membuat cinta habibi berkurang tiap harinya. Wajar, karena dalam prinsip Habibi ia amat menentang keras segala bentuk pengkhianatan.
“Ehm,,kenalin bee teman-teman Cha-cha. Ini Nurul, di sebelahnya Rina, dan yang di pojok itu Rozinah”
“iya,,salam kenal ya semua”, sapa Habibi dengan senyum ramahnya.
Lalu mereka pun bercanda gurau di ruang tamu yang tampak sederhana. Awalnya mungkin terasa menjenuhkan bagi Habibi. Karena kekasihnya itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Namun semua itu berubah setelah Habibi melihat seorang wanita yang begitu mempesona dirinya. Wanita yang memiliki mata indah, wanita yang memiliki rambut lurus yang terurai begitu sempurna, wanita yang memiliki senyum indah nan elok bagaikan pegunungan himalaya, wanita yang memiliki sahabat bernama Annisa.
“Apa?! Apa yang terjadi dengan diriku? Bagaimana bisa aku terjebak dalam pesona wanita itu? Dia adalah sahabat Annisa. Annisa yang tak lain adalah kekasih ku..”, gumam Habibi dalam hatinya dengan aroma kegundahan.
Sesekali Habibi menatap kekasihnya itu. Menatapnya dengan dalam. Rupanya ia ingin sekali mengalihkan perhatiannya pada kekasihnya itu. Ia tak mau terlampau jauh larut dalam lamunan indah pesona Rozinah. ia ingin sekali menjaga perasaan kekasihnya itu. Namun ternyata ia tak kuasa menahan perasaan itu. Matanya begitu sulit untuk tak menatap keceriaan Rozinah. Perasaan cinta pada Annisa yang sedang memudar itu kian membantu dirinya untuk terperosok jauh dalam kegundahan perasaan hatinya.
Sore pun menjelang seiring dengan alunan syahdu gema adzan Ashar. Namun perbincangan itu tampak seperti tanpa ujung. Mereka tengah asyik larut dalam canda tawa yang menghiasi ruang tamu tersebut sepanjang siang hari itu. Tapi ketika wajah matahari tampak condong 22 derajat arah barat, mereka pun berpamitan pulang. Sesekali tampak tatapan Habibi yang mencuri-curi untuk memandang wajah Rozinah seakan-akan tak rela untuk kehilangan pesona wajah nan ayu tersebut.
“bee,,Cha-cha pulang dulu ya. Nanti malam sms Cha-cha ya?”, celoteh Cha-cha yang seakan-akan begitu membutuhkan perhatian Habibi.
Namun habibi pun hanya menjawab dengan senyuman seraya berkata, “Hati-hati di jalan y!”
Lalu mereka pun meninggalkan rumah Habibi. Habibi hanya bisa menatap mereka dari kejauhan. Dan sore itu pun berakhir dengan perasaan Habibi yang masih memikirkan pesona Rozinah .
***
Beberapa hari kemudian Habibi mengunjungi rumah Annisa. Memang sudah sewajarnya ia bertamu kesana, karena dalam menjalin hubungan dengan seseorang kita harus bersilaturahmi juga dengan keluarganya di rumah.
Siang itu memang terasa begitu sepi di rumah annisa. Hanya ada ibu nya yang sedang melakukan pekerjaan rumah tangga dan seorang adik perempuannya yang berumur kurang lebih 3,5 tahun. Tak ayal situasi tersebut pun membuat pertemuan tersebut menjadi membosankan. Sesekali mereka melepas canda tawa, namun terkadang mereka terdiam tanpa kata-kata seakan-akan menyadari hubungan yang telah mereka jalin itu telah di warnai dengan kejenuhan. Namun Annisa yang tampil ceria pada pertemuan itu tak kehabisan akal. Ia tidak mau menbuat Habibi kecewa sehingga ia mengajak Habibi pergi ke suatu tempat.
“Bee,,gimana kalau kita main ke rumahnya Rina? Daripada di sini melulu, kan bosan”, ajak dia dengan melemparkan senyuman yang menggoda Habibi untuk menyanggupinya.
“Rina teman kamu yang dulu kamu kenalin di rumah aku bkn?”
“Iya Rina yang itu. Kamu masih ingat kan? Cha-cha memang suka main ke rumahnya. Dia teman Cha-cha sejak kelas dua Bee”
“Haduh, kenapa tidak ke rumah Rozinah saja? Jadi gue kan bisa terpesona lagi mengagumi dirinya sambil sesekali bertanya tentang dirinya agar bisa mengenalnya lebih jauh lagi”, pikir Habibi dengan segudang halusinasi.
“hey, gimana? Di Tanya malah melamun lagi”, celoteh Cha-cha yang serta-merta merusak lamunan Habibi.
“Oia,,ayo kita berangkat. Pamit dulu ma mama ya”
Lalu setelah berpamitan mereka pun segera bergegas untuk pergi ke rumah Rina. Rumah nya memang jauh dari rumah Cha-cha, tapi tak mengapa dengan begitu mereka terlepas dari kejunahan dengan nuansa rumah yang itu-itu saja.
Setelah beberapa menit mereka tiba di sebuah rumah. Rumah yang cukup sderhana namun terlihat sedikit lebih mewah dari bangunan sekelilingnya. Di depan rumahnya terdapat rel kereta listrik yang masih aktif di lalui kereta setiap hari. Antara rel kererta dengan rumah itu hanya dibatasi dengan jalan umum yang hanya berlebar satu setengah meter saja. Dari luar rumah itu terkesan penuh dengan kehidupan yang begitu harmonis antar sesama penghuni keluarga.
Lalu dari kejauhan terlihat seorang wanita separuh baya yang tengah melempar senyum kepada Cha-cha. Lalu begitu mendekat serta merta wanita tersebut mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah dengan senyuman ramahnya. Seketika itu Habibi tersadar ternyata wanita itu adalah ibunya Rina. Ia pun langsung member salam untuk menghormati wanita tersebut.
Selang beberapa mwaktu Rina pun dating menghampiri seraya menyapa dengan penuh keramah-tamahan.
“Eh, kamu cha. Sama siapa? Habibi ya?”, sapa Rina dengan sedikit berbasa-basi.
“iya, sama Habibi. Masih ingat akn? Kita ganggu kamu ‘gak nh Rin?”
“Oo, ‘gak kok. Rina juga disini lagi santai-santai saja. Untung kalian maen ke rumah, jadi Rina ada temenya nih”
Sesaat kemudian mereka masuk ke dalam perbincangan yang begitu menarik. Canda tawa pun sesekali mewarnai aura ruang tamu tersebut. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata Habibi dengan mudahnya langsung Akrab dengan Rina Layaknya sahabat lama yang kembali bertemu. Namun ternyata hal tersebut bukannya tidak di respon oleh Cha-cha. Ia pun mengkhwatirkan sesuatu yang buruk terjadi antara hubungannya dengan Habibi dan sahabatnya Rina. Namun ia terlihat tak begitu menampakkan kegundahan perasaanya itu di hadapan mereka berdua.
Lalu hari pun semakin sore. Sehingga Habibi dan Annisa pun segera beranjak untuk berpamitan pulang. Dan hari itu pun berakhir dengan kegundahan Cha-cha yang sepertinya menyesali inisiatifnya untuk mengajak Habibi ke rumah Rina.
***
Beberapa hari kemudian Habibi menerima pesan dari nomor yang tak di kenalinya. Isinya tak lain adalah kata-kata dari Rina yang menyuruhnya untuk menyimpan nomor ini. Habibi pun menurut dengan isi pesan tersebut. Ia pun berfikir mungkin ini lah saatnya untuk mengakhiri hubungan dengan Annisa yang sudah sekian lama cintanya pudar dan mungkin saat itu adalah saat dimana puncak perasaan itu akan pupus. Mungkin tak dapat di salahkan begitu saja tindakan Habibi. Terlepas dari perasaan dendam, mamang kejadian dimana Cha-cha menduakan cintanya itu begitu membekas. Hingga tak sadar menjadi bom waktu untuk Cha-cha. Sehingga ia memikirkan bagaimana skenario yang bagus untuk mengakhiri hubungannya.
Ia pun berfikr mungkin hal tersebut akan terlaksana dengan sempurna melalui bantuan Rina untuk merencanakan semua itu. Karena Rina adalah temannya yang sehari-hari sepanjang sekolah menemaninya. Sehingga dari situ Habibi dapat mengetahui apa saja yang di lakukan Cha-cha di sekolah.
Lalu hari-hari pun berlalu dengan tambah dekatnya hubungan Habibi dan Rina. Tak di duganya ternyata Rina begitu mendukung rencananya tersebut. Terkadang mereka bertemu langsung untuk membicarakan hal itu, sehingga beragam informasi pun begitu mudah di dapat Habibi. Dari memakai tas dan sepatu berwana apa saat cCa-cha sekolah, hingga kisah asmara Cha-cha yang tengah di dekati pria-pria di sekolahnya.
Lantas terlintas rencana untuk menjebak Cha-cha dengan pria yang tengah mendekatinya itu. skenario pun di rancang dengan adegan seolah-olah habibi memeregoki mereka yang tengah jalan berdua. Namun skenario besar itu tidak lah mudah di laksanakan karena Cha-cha begitu tak merespon baik pria-pria yang tengah mendekatinya itu. Tak ayal hal tersebut mebuat Habibi harus bertemu langsung denga Rina. Terkadang di tempat-tempat umum, terkadang pula langsung di rumah Rina. Alhasil hal tersebut membuat mereka terasa sering bertemu. Namun ternyata hal ini pun tercium oleh Annisa. Sehingga tambahlah kecurigaan terhada Rina semakin membesar adanya. Hingga membuat hubungan mereka tampak renggang.
Beberapa hari kemudian habibi sudah berada di rumah Rina lagi. Ketika hari sudah gelap. Habibi pun segera beranjak pulang dari rumah Rina yang sedari sore membahas skenario besar tersebut. Namun begitu terperanjatnya dia ketika sampai di depan pagar rumahnya di temui seorang wanita yang taka asing baginya. Seorang wanita yang begitu mempesona dirinya. Wanita yang memiliki mata indah, wanita yang memiliki rambut lurus yang terurai begitu sempurna, wanita yang memiliki senyum indah nan elok bagaikan pegunungan Himalaya itu yang tak lain adalah Rozinah.
Lalu denga senyuman yang ramah wanita itu mendekat dengan langkah pasti.
“hey, bee mau kemana? Udah mau pulang saja, baru saja Roz sampe”, sapanya dengan melemparkan canda.
“iya nih mau pulang saja. Habis sudah malam. Loh, kamu kok kesini? Memang ada acara apa samapai malam-malam seperti ini kamu ke rumah Rina?”, balas Habibi sambil menyalakan mesin motornya.
“Loh,Roz kan tinggal di sini bee. Memang Rina tidak cerita? Jadi Roz itu sepupuan dengan Rina. Kalau begitu hati-hati ya Habibi. Sampai ketemu lagi”, ujar rozinah
“oia, makasih”, jawab Habibi sambil melemparkan salam kepada Rozinah.
Di perjalanan Habibi masih bingung dengan kenyataan yang baru ia alaminya itu. ia masih tidak percaya kalau Rozinah wanita yang ia kagumi itu bersaudara denga Rina bahkan tinggal serumah. Padahal sepanjang perjalanan menyusun skenario itu ia sering bertandang ke rumah Rina. Namun tak pernah sekalipun ia bertemu dengan Rozinah. Rasa bingungnya bercampur rasa bahagia. Bahagia karena bertemu dengan wanita yang selama itu pun ia cari-cari keberadaanya, sekaligus bahagia karena pintu untuk mengenal wanita tersebut menjadi terbuka lebar.
***
Hari-hari setelah itu pun berlalu dengan Habibi yang tampak lebih akrab dengan Rozinah. sekarang ia jadi lebih mengalihkan perhatiannya terhadap wanita itu. Tak ayal situasi ini pun ternyata terbaca oleh Rina. Sehingga ia begitu cemburu melihat kedekatan Habibi denga Rozinah. dari situ lah tertangkap ternyata Rina pun memendam perasaan yang begitu mendalam trhadap habibi. Habibi pun mengetahuinya, sehingga tersadar olehnya ternyata hal itu lah yang memotivasi Rina membantu Habibi. Namun hal tersebut tak membuat Habibi berhenti merencanakan scenario besar itu. dan akhirnya scenario tersebut pun selesai dan siap di perankan.
Scenario itu di jalankan esok harinya setelah semua persiapan matang. Scenario tersebut harus berhasil membuat Annisa berjalan berduaan bersama pria yang tengah mendekatinya tersebut. Secepat mungkin Rina pun memberitahukan posisi mereka dan detil-detil pakaian apa saja yang mereka kenakan. Lalau Habibi pun segera bergerak menuju lokasi tersebut.
Sesampainya di sana ternyata benar saja ia tengah mendapati mereka tengah duduk berduaan di kursi taman pinggir jalan. Tampak berdekatan sekali sehingga terpikir oleh Habibi bahwa inilah memang saatnya scenario itu dilaksanakan. Lalu Habibi pun mendekati mereka dengan mengumpulkan emosi untuk mendukung keberhasilan scenario tersebut.
“Oo,,jadi seperti ini ya yang kamu lakuin di belakang aku? Pantas saja sedari tadi aku tidak bisa menghubungi kamu. Ternyata kamu tengah asyik berduaan dengan dia?”, sapa Habibi dengan nada garang.
Tampak wajah Annisa yang tengah kebingungan dengan semua yang terjadi sehingga membuatnya tak bisa berkata apa-apa.
“malam-malam begini bukannya langsung pulang malah main dulu. Sama cowok lagi”, sambar Habibi
Annisa pun angkat bicara seolah mencoba melawa rasa bingung itu, “ini ‘gak seperti yang kamu pikirin Habibi. Cha-cha sama dia gak ad hubungan apa-apa. Kita Cuma sedang duduk-duduk sambil mengistirahatkan kaki”
“Ah,,istirahat kan bisa di rumah. Bukan dengan duduk di punggir taman jalan kaya gini. Sama cowo lagi. Udah, kesabaran gue dah habis. Perjalanan cinta kita ini putus di sini seiring dengan pupusnya keprcayaan gue sama kamu. Mulai sekarang jangan hubungi gue lagi dan mencoba tuk jelasin semua ini. Karena semua ini sudah jelas di mata gue”, balas Habibi sambil cepat-cepat pergi meninggalkan Annisa.
Annisa pun tak kuasa menahan Habibi yang begitu cepat memberi keputusan dengan penuh emosi. Ia hanya bisa menitikkan air mata sambil meandangi Habibi yang kian lama kian jauh dan menghilang di telan kegelapan malam.
***
Rencana besar itu BERHASIL!! Scenario itu berjalan dengan sempurna bahkan dengan adegan di luar dugaan yang membuatnya tampak lebih nyata lagi. Meskipun perasaan hatinya yang begitu puas dengan keberhasilan scenario besar tersebut, namun Habibi pun merasa sedih juga.
“Ini bukan balas dendam! Tapi aku malah membuat ini untuk kebahagiaan dirinya. Aku tak ingin dia menjalin hubungan tanpa cinta dariku. Meski telah ku coba untuk mencintainya kembali, namun peristiwa ketika dia menduakan cintaku lebih mendominasi. Aku tak bisa melakukan hal lain. Ini sudah keputusan terbaik untukku dan untuknya”, elak Habibi untuk meyakini dirinya yang sedang bimbang dengan keputusan yang di buatnya.
Esok harinya Annisa mendatangi Rina. Rupanya ia sudah mencium adanya sekandal besar yang telah Habibi dan Rina lakukan. Namun ia tak bisa berbuta benyak, karena tak mampu membuktikan bahwa Rina memang terlibat. Tapi emosinya meluap-luap. Ia tak bisa mengendalikan perasaannya yang begitu membebani. Dengan suara lantang ia berbicara dengan Rina.
“hey, Rina. Ini semua kemauan kamu kan? Puas kamu dengan semua yang terjadi semalam antara aku dan Habibi?”, Tanya Annisa sambil menitikan air mata.
“Loh apa yang terjadi dengan kamu dan Habibi dan kamu Cha?”, elak Rina berpura-pura tak tahu.
“halah, jangan pura-pura tidak terlibat kau! Aku tau selama ini kamu selalu bertemu dengan Habibi. Entah apa yang kalian bicarakan, namun aku tau semua ini adalah rencana besar kamu juga. Kamu masih menaruh dendam kan pada ku?”, sambar lina dengan nada meyakinkan.
“dendam apa? Semua itu sudah aku lupakan. Sudahlah jangan di bahas masa lalu itu. aku tak mau mendengarnya lagi”, elak Rina yang seakan-akan ingin menyembunyikan perasaannya terhadap Habibi.
“jangan mengelak kau Rin. Aku tahu pasti ada sesuatu yang membuat kamu merasa yakin melakukan ini meski harus mengorabankan perasaan aku kan?”
Rina terdiam sejenak.
“Sejak pertama mengenalkan Habibi pada mu pun aku sudah menyangka bahwa ada sesuatu yang engkau sembunyikan. Engkau menyukai Habibi kan Rin?”, sambar Annisa denga nada yang lebih lantang.
Rina pun masih terdiam seakan-akan tak ingin perasaan itu di ketahui Annisa. Di kejauhan terlihat Rozinah dan Nurul yang sedang mengamati. Lantas mereka pun mendekat mencoba menenangkan Annisa dan menengahi konflik tersebut.
“Aa.. aku tidak menyu...”, jawab Rina tergagap namun terhenti karena annisa menyerobot kata-katanya.
“Apa?! Kau ingin mengelak atas perasaan mu itu? sudahlah jujur saja. Aku pun sudah tak terkejut dengan jawaban mu itu. aku sudah tau kalau kau pasti akan mengkhianati aku! Tega sekali kamu lakukan itu? dasar parasit!!”, sambar Annisa dengan emosi yang sudah tak bisa di bendungnya.
Mendengar perkataan tersebut membuat Rina muak. Ia pun tak kuasa menahan amarahnya dan membalas Annisa dengan kata-kata yang meluap-luap.
“Iya!! Aku memang menyukainya. Aku bahkan ingin merebut ia dari mu. Karena aku mencintainya. Dan aku tak rela melihat ia tersiksa karena hubungan yang ia paksakan. Rasa cinta dia sudah pudar untukmu Cha. Ini semua karena kau yang telah menduakan dia. Ia masih belum bisa menerima kenyataan itu. Hingga akhirnya aku datang untuk menghiburnya.”, elak Rina dengan argumennya yang seolah-olah ingin membenarkan perbuatannya. Ia pun segera berjalan meninggalkan Annisa. Diikuti Nurul yang mengejarnya sekedar mencoba menenangkan hatinya.
Mendengar itu Annisa tak bisa berkata-kata lagi. Mulutnya seakan-akan terkunci rapat oleh kata-kata dari Rina. Dadanya sesak dan terasa penuh karena masih menyimpan emosinya. Rozinah pun dengan segera merangkul Annisa dan mengelus-ngelus punggunganya.
“Sudah Cha. Ikhlaskan saja. Semua sudah terjadi. Aku mengerti perasaanmu, namun tak ada lagi yang bisa kamu perbuat”, celoteh Rozinah yang mencoba menenang kan hati Annisa.
Mendengar perkataan Rozinah, Annisa tak kuasa menahan emosinya. Di peluknya Rozinah dengan erat, lalu ia menangis sekeras-kerasnya hingga membasahi seragam Rozinah. Rozinah pun memeluknya dan sambil tetap mengelus-elus punggungnya dan mencoba menenangkan Annisa. Rozinah pun menitikkan air mata. Berandai-andai bagaimana bila Annisa pun mengetahui perasaannya yang besar terhadap Habibi juga.
***
Mendengar insiden yang terjadi di sekolah Annisa dari Rozinah, Habibi tak dapat berbuat banyak. Ia hanya bisa bertanya-tanya bagaimana situasi yang terjadi pada Annisa saat itu. Habibi pun seakan-akan kebingungan mendengar dampak yang terjadi atas apa yang ia lakukan. Namun Habibi pun tak dapat membendung perasaannya terhadap Rozinah. rozinah pun demikian. Namun mereka terbebani dengan dampak yang akan di timbulkan oleh perasaan mereka berdua. Habibi sadar bahwa bila hubungan dengan Rozinah di lanjutkan, maka konflik pun bukan saja terjadi antara Annisa dengan Rozinah, namun dengan Rina pun. Mengingat bahwa Rina adalah sepupu Rozinah dan begitu berharap Habibi akan menjadi kekasihnya setelah berpisah dengan Annisa.
Namun terlepas dari semua itu, mereka tak dapat membendung perasaannya. Hari-hari mereka lalui dengan komunikasi yang lebih akrab lagi. Mereka pun seakan-akan tak mempedulikan lagi insiden saat itu. Mereka pun tersiksa bila mereka tak dapat menjalin hubungan lebih serius dengan komitmen yang di sanggupi bersama.
Maka hal tersebut pun terjadi juga. Setelah dua minggu insiden tersebut, mereka meresmikan hubungannya. Memang berkesan egois, namun itu semua karena cinta yang begitu besar menyelimuti mereka. Awalnya mereka menyembuikan hubungan tersebutut terhadap Rina dan Annisa. Hingga suatu ketika, dimana Rina melihat Habibi dan Rozinah berduaan di tengah kursi bioskop.
Serta merta Rina menghampiri mereka, dan melabrak dengan gertakan yang meledak-ledak.
“Oo, jadi ini akhir cerita yang kalian rencanakan? Bagus sekali kau memperalat aku untuk berpisah dengan Annisa bee. Namun ternyata kau malah menjalin hubungan dengan Rozinah”
Habibi tak mampu mengelak lagi.
“Hey, apa yang kamu bicarakan Rina? Aku tidak memperalat kamu untuk itu. kamu lah yang ingin membantuku. Aku kira itu kamu lakukan dengan ketulusan”, balas Habibi membela diri.
Sedangkan Rozinah hanya terdiam duduk di kursi itu tanpa tau apa yang bisa sia lakukan untuk menjelaskan perasaannya.
“iya aku memang tulus membantumu. Tapi aku pun berharap jika kau berpisah dengan Annisa kau akan menjadi milikku. Semua sudah aku lakukan untuk itu. bahkan aku sudah menjual arti persahabatan kami. Tapi sekarang kau malah bersama Rozinah. apa kau ingin menghancurkan hubungan persaudaraan kami juga?”, tambah Rina sambil menyeka air matanya.
“Rin aku minta maaf untuk semua ini.aku tak bermaksud melakukan ini. Aku tak tahu perasaan mu pada ku. Aku kira hubungan kita hanyalah sebuah hubungan pertemanan saja. Maafkan aku dan Rozinah jika semua ini hanya melukai hatimu saja”, balas Habibi dengan penuh penyesalan.
Rina tidak menjawab apa-apa. Dia tak kuasa menahan gejolak perasaan ini. Dia hanya bisa menyesali perbuatannya kepada Annisa. Dengan penuh emosi ia langsung berlari dan meninggalkan Habibi dan Rozinah.
Habibi pun mencoba mengejar. Namun tak sanggup baginya untuk menahan Rina. Ia hanya bisa memanggil nama Rina di kejauhan. Lalu ia kembali menemui Rozinah. di dapatinya Rozinah yang tengah tertunduk menangis menyikapi kejadian tadi. Lalu habibi pun merngkunya seraya maykinkannya.
“Maafkan aku Rozinah. aku telah membuat hubungan kalian seperti ini. Aku tak kuasa membendung perasaan cinta aku padamu. Maafkan aku Rina”
“Habibi,apakah aku akan kecewa seperti mereka. Apakah kehancuran hubungan persahabatan kami akan sia-sia?”, jawab Rozinah dengan di iringi isak tangisnya.
Sambil menatap wajahnya, habibi menjwab dengan penuh keyakinan, “Aku tak akan membuat semua ini sia-sia. Aku itak akan membuat kamu kecewa. Aku aka selalu berada di sisi mu. Percaya padaku Roz”
Lalu Rozinah pun memeluk erat Habibi. Ia tak menanggapi pernyataan Habibi. Ia hanya bisa berharap bahwa semua ini tak akan sia-sia. Persahabatannya yang hancur hanya bisa di sesalinya. Ini semua adalah harga mahal yang harus di bayar untuk sebuah hubungan percintaan.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar